Jumat, 25 Maret 2016

Hukum Perjanjian

Istilah kontrak atau perjanjian dapat dijumpai dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.

I.          Kontrak Standar
Standar kontrak adalah  perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir – formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu :
1.    Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2.      Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

Jenis-jenis kontrak standar :
·    Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a.        kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b.        kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c.        kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.

·     Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a.        kontrak standar menyatu;
b.        kontrak standar terpisah.

·      Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
a.        kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani;
b.        kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan

II.       Jenis-jenis Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligator dan perjanjian non obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Sedangkan perjanjian non onbligator adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.

Perjanjian obligator terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
·           Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang membebankan prestasi pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang membebankan prestasi kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli.

·           Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

·           Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.

·           Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

Perjanjian non obligator terbagi menjadi:
1.      Zakelijk overeenkomst adalah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
2.      Bbevifs overeenkomst adalah perjanjuan untuk membuktikan sesuatu.
3.      Liberatoir overeenkomst adalah perjanjian dimana seorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban
4.      Vaststelling overenkomst adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.

III.      Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :

1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.

3.      Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.

4.      Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

IV.      Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat  perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
·        Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
·      Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
·           Terkait resolusi atau perintah pengadilan
·           Terlibat hukum
·           Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian

Pelaksanaan perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian  itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.

V.       Wanprestasi
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.

Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
·         Tidak memenuhi prestasi sama sekali
·         Terlambat memenuhi prestasi, dan
·         Memenuhi prestasi secara tidak sah

Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian.

Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
·         Pemenuhan perikatan
·         Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
·         Ganti rugi
·         Pembatalan persetujuan timbale balik, atau

·         Pembatalan dengan ganti rugi



Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar

 

Welcome to My Blog Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang